BDG Connex
Shows Venues Artworks Artists Sign in Sign up ◼︎

Menghidupi Kehidupan

Orbital Dago Oct, 2nd - 18th, 2020

Pengantar Kuratorial_Pameran Fotografi
 
Menghidupi Kehidupan
 
Praktik dan wacana fotografi kontemporer saat ini mendorong para fotografernya untuk terus menunjukan perannya lebih aktif dan visible baik dalam ruang sosial atau pun dalam ruang virtual. Pergeseran praktik fotografi hari ini adalah keniscayaan, untuk menunjukan kompleksitas medium fotografi dan mendorong ruang produksi wacana dan pengetahuan baru.  
 
Dibalik hingar bingarnya fotografi saat ini, fotografi menyisakan banyak persoalan. Salah satunya adalah infrastruktur fotografi itu sendiri dan tidak banyak yang cukup konsisten di jalan fotografi sebagai penghidupan. menengok 1839 dimana fotografi meneguhkan bukan hanya sekedar klaim estetika, fotografi berakar pada aspek kehidupan. Susan Sontag dalam orasi ilmiahnya di Wallesley Collage (1975) menyebut “Photography within the humanities” bahwa visi fotografi berangkat pada sebuah individu yang mengganggap fotografi sebagai bagaian penting dari penghidupan, atau bisa juga berangkat dari wacana fotografi sebagai bagian dari praktik untuk menarik wacana kritis mengunakan medium fotografi. 
 
Memahami fotografi secara utuh tidak terlepas dari hubunan antara ekonomi politik dan industri fotografi, Walter Benjamin dalam WJT Mitchell memaparkan dengan baik mengenai hubungan antara kapitalisme dan kritik marxis ‘Kamera di satu sisi, lambang ekonomi politik kapitalisme yang destruktif dan konsumtif’. Benjamin juga menjelaskan bagaimana hal itu menghancurkan ‘aura’ dari seni dan khususnya realitas dalam fotografi.
 
Pameran menghidupi kehidupan berangkat dari wacana ekosistem fotografi hari ini yang menawarkan gagasan fotografi yang saling tarik menarik antara Sontag dan Benjamin. Dilain pihak narasi tersebut tidak pernah luruh di praktikan dalam dunia fotografi. Hal ini bisa dilihat dari kelima fotografer yang berpameran. Karya fotografi yang dihadirkan bukan hanya mengandung bentuk sublimasi estetik, tetapi bisa mengugah kesadaran kita atas realitas. Seperti halnya Arif Hidayah, seorang jurnalis foto. Dia bukan hanya memotret untuk kepentingan reportasi media massa, tetapi dia juga berani turun tangan dalam perjuangan-perjuangan kaum marginal. Terkadang hal tersebut tidak rasional, dalam karya foto Doly Harahap, selain sebagai musisi, Doly punya ketertarikan lebih terhadap fotografi. Foto kesehariannya sebagai musisi begitu intim dan memiliki artikulasi yang berbeda, ketimbang fotogafer yang berjarak dibawah panggung. 
 
Pameran menghidupi kehidupan adalah serangkaian dialog fotografi sebagai alat dokumenter, yang memiliki pengalaman keberhasilan atau sekali pun mendapatkan kegagalan dalam wacana fotografi itu sendiri. Pameran menghidupi kehidupan bukan soal apa yang di tampilkan dalam foto, tetapi lebih jauh dari itu. Bukan lagi karya foto yang lebih bermakna, tetapi aktivitas mereka dalam fotografi yang sebenarnya bermakna dan menghidupinya. Seperti halnya Karya Aldiansyah Waluyo seorang fotografer komersil yang juga aktif dalam komunitas yang juga memperjuangankan hak-hak ruang berkesenian. Muhammad Fajar Hidayat yang memiliki ketertarikan pada tema-tema ruang urban, dia juga mengelola bisnis foto hipercatlab yang berkontibusi pada perkembangan fotografi analog. Terakhir adalah karya foto Fitra Sujawoto, sebagai fotografer pernikahan dia juga punya keresahan tersendiri dalam dunia fotogarfi pernikahan yang dia jewantahkan dalam bentuk workhop, buku dan kegitan edukasi lainya. 
 
Kembali ke titik awal, jika fotografi memiliki tempat dalam humaniora, mungkin fotografi memiliki semacam tempat sentral, karena bukan hanya bentuk seni di bawah batasan tertentu, tetapi juga memiliki tempat di mana semua jenis pertanyaan sosiologis dan moral dan historis dapat diangkat. Fotografi bisa menghidupi batin secara personal atau pun hal yang lebih luas seperti kehidupan itu sendiri.  
 
Sandi Jaya Saputra, Jatihandap, 20/20
 
 
Jatihandap, 20/20
 
 
 

Pengantar Kuratorial_Pameran Fotografi
 

Menghidupi Kehidupan

 
Praktik dan wacana fotografi kontemporer saat ini mendorong para fotografernya untuk terus menunjukan perannya lebih aktif dan visible baik dalam ruang sosial atau pun dalam ruang virtual. Pergeseran praktik fotografi hari ini adalah keniscayaan, untuk menunjukan kompleksitas medium fotografi dan mendorong ruang produksi wacana dan pengetahuan baru.  
 
Dibalik hingar bingarnya fotografi saat ini, fotografi menyisakan banyak persoalan. Salah satunya adalah infrastruktur fotografi itu sendiri dan tidak banyak yang cukup konsisten di jalan fotografi sebagai penghidupan. menengok 1839 dimana fotografi meneguhkan bukan hanya sekedar klaim estetika, fotografi berakar pada aspek kehidupan. Susan Sontag dalam orasi ilmiahnya di Wallesley Collage (1975) menyebut “Photography within the humanities” bahwa visi fotografi berangkat pada sebuah individu yang mengganggap fotografi sebagai bagaian penting dari penghidupan, atau bisa juga berangkat dari wacana fotografi sebagai bagian dari praktik untuk menarik wacana kritis mengunakan medium fotografi. 
 
Memahami fotografi secara utuh tidak terlepas dari hubunan antara ekonomi politik dan industri fotografi, Walter Benjamin dalam WJT Mitchell memaparkan dengan baik mengenai hubungan antara kapitalisme dan kritik marxis ‘Kamera di satu sisi, lambang ekonomi politik kapitalisme yang destruktif dan konsumtif’. Benjamin juga menjelaskan bagaimana hal itu menghancurkan ‘aura’ dari seni dan khususnya realitas dalam fotografi.
 
Pameran menghidupi kehidupan berangkat dari wacana ekosistem fotografi hari ini yang menawarkan gagasan fotografi yang saling tarik menarik antara Sontag dan Benjamin. Dilain pihak narasi tersebut tidak pernah luruh di praktikan dalam dunia fotografi. Hal ini bisa dilihat dari kelima fotografer yang berpameran. Karya fotografi yang dihadirkan bukan hanya mengandung bentuk sublimasi estetik, tetapi bisa mengugah kesadaran kita atas realitas. Seperti halnya Arif Hidayah, seorang jurnalis foto. Dia bukan hanya memotret untuk kepentingan reportasi media massa, tetapi dia juga berani turun tangan dalam perjuangan-perjuangan kaum marginal. Terkadang hal tersebut tidak rasional, dalam karya foto Doly Harahap, selain sebagai musisi, Doly punya ketertarikan lebih terhadap fotografi. Foto kesehariannya sebagai musisi begitu intim dan memiliki artikulasi yang berbeda, ketimbang fotogafer yang berjarak dibawah panggung. 
 
Pameran menghidupi kehidupan adalah serangkaian dialog fotografi sebagai alat dokumenter, yang memiliki pengalaman keberhasilan atau sekali pun mendapatkan kegagalan dalam wacana fotografi itu sendiri. Pameran menghidupi kehidupan bukan soal apa yang di tampilkan dalam foto, tetapi lebih jauh dari itu. Bukan lagi karya foto yang lebih bermakna, tetapi aktivitas mereka dalam fotografi yang sebenarnya bermakna dan menghidupinya. Seperti halnya Karya Aldiansyah Waluyo seorang fotografer komersil yang juga aktif dalam komunitas yang juga memperjuangankan hak-hak ruang berkesenian. Muhammad Fajar Hidayat yang memiliki ketertarikan pada tema-tema ruang urban, dia juga mengelola bisnis foto hipercatlab yang berkontibusi pada perkembangan fotografi analog. Terakhir adalah karya foto Fitra Sujawoto, sebagai fotografer pernikahan dia juga punya keresahan tersendiri dalam dunia fotogarfi pernikahan yang dia jewantahkan dalam bentuk workhop, buku dan kegitan edukasi lainya. 
 
Kembali ke titik awal, jika fotografi memiliki tempat dalam humaniora, mungkin fotografi memiliki semacam tempat sentral, karena bukan hanya bentuk seni di bawah batasan tertentu, tetapi juga memiliki tempat di mana semua jenis pertanyaan sosiologis dan moral dan historis dapat diangkat. Fotografi bisa menghidupi batin secara personal atau pun hal yang lebih luas seperti kehidupan itu sendiri.  
 
Sandi Jaya Saputra, Jatihandap, 20/20
 
 
Jatihandap, 20/20

Bio
 
Aldiansyah Waluyo is a Bandung based photographer/director. Inspired by the urban culture of his youth, he discovered his passion for photography in his early ages. The creative process that he’s involved in Woodensun mostly enlighted his works, his sought-after style represent scenes  from accidental phenomena that play out in ours daily life.

Arif Hidayah . Biasa disapa Danun, Jurnalis foto di Pikiran Rakyat belum pernah membuat buku atau pameran foto tunggal tapi lagi mengusahakannya supaya kenyataan.  Aktivitas memotret saya sedang beririsan dengan isu-isu sosial, intens merespon fenomenanya akibat kepikiran.  
 
Project Information 
 Title of project          : Dystopia
Number of images    : 12
Project date               : 2018-2020

Description/Artist Statement: 
Kamis, 12 Desember 2019, hari dimana 176 keluarga harus kehilangan rumah yang telah mereka tinggali dari tahun 1921. Ratusan petugas gabungan dari Satpol PP, Polrestabes Bandung dan Kodim 0618/BS dikerahkan Pemkot Bandung untuk mengawal penggusuran paksa demi terealisasinya pembangunan rumah deret yang suatu saat nanti warga harus menyewa setiap bulannya. Tepat saat 33 kepala keluarga lain yang menolak masih melayangkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung terkait lahan ber-status quo tersebut.

33 kepala keluarga kini menetap di Masjid Al-Islam tanpa pekerjaan bahkan tanpa jaminan keselamatan saat pandemi covid-19 menghantui setiap orang.Tidak hanya di Tamansari, pada 31 Agustus 2015 11 ribu warga di Kecamatan Darmaraja, Wado, Jatinunggal dan Jatigede, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat terdampak pembangunan waduk yang menenggelamkan rumah, kampong halaman dan satu juta lahan hijau produktif beserta situs-situs kebudayaannya. Jika meminjam istilah David Harvey tentang spatial fix-nya, peluang untuk melebarkan penciptaan pasar baru dengan cara ekspansi geografis atau menciptakan ruang-ruang investasi dengan membangun infrastruktur penunjang dalam menyerap surplus secara penuh akhirnya tidak berlaku di kota-kota berkembang saja. Dampak akumulasi kapital terus membayangi setiap ruang dan tempat semua manusia.Saya melihat masyarakat selalu tak berdaya di hadapan negara, sebagian media arus utama dan tentu saja dalam kuasa oligarki.

Doly Harahap
: 2017 - 2019 adalah tahun di mana saya berada dalam aktivitas bermusik yang cukup padat. Saya terlibat dalam proyek musik, band, maupun solois yang sedang mengembangkan karyanya. Bersama Nadin Amizah, selain sebagai pemain gitar saya juga menjadi salah satu partner ketika dia menulis lagu. Menjadi manajer dalam kelompok musik Syarikat Idola Remaja dan solois Jon Kastella, juga manajer sebuah proyek musik yang kemudian menyudahi proyeknya di awal tahun 2020, Daramuda.Seru? Tentu! Karena mengerjakan apa yang saya suka. Lelah? Tak bisa saya pungkiri memang cukup melelahkan. Menyelesaikan tugas-tugas yang sudah menjadi tanggung jawab dan tak jarang pula harus bepergian dari kota satu ke kota lainnya. Dan rutinitas itu terus berlangsung hingga awal tahun 2020.

 
Project Information 
Title of project          : Jeda
Number of images    : 10
Project date               : 2017 - 2020
Description/Artist Statement: terlampir
 
Saya mengenal fotografi, teknis maupun non teknis belumlah lama. Dan dalam perjalanannya kemudian saya menemukan kesamaan antara musik dan fotografi. Keduanya sama-sama mendokumentasikan perasaan, peristiwa, menjadi catatan satu cerita yang kemudian dibagikan atau hanya sekedar untuk dibaca sendiri. Namun fotografi memilik ruang yang lebih personal buat saya. Dalam praktiknya, saya memiliki kuasa penuh untuk menentukan apa yang ingin saya dokumentasikan. Sedangkan  ketika saya bermusik, dalam konteks menulis lagu misalnya, selalu ada proses kesepakatan antara saya dan si penyanyi dalam pemilihan chord, nada. Sedangkan yang saya lakukan dalam berkegiatan fotografi, saya hanya membutuhkan kamera saya, berjalan dengan beberapa stock rol film kemudian mendevelopnya sendiri.

 
Seri foto ini diambil bersamaan ketika saya sedang melakukan aktivitas bermusik saya yang saat itu sedang padat-padatnya. Yang kemudian saya sadari apa yang saya lakukan dengan kamera saya ini ternyata menghadirkan sebuah ruang baru. Ruang baru yang mana di dalamnya memberikan saya suatu “jeda”.

Fitra Sujawoto 
Kalau fotografi memang bermakna 1000 kata, entah kenapa saya masih diminta menuliskan biografi diri di kolom ini. Bisa jadi memang membaca fotografi lebih rumit daripada memahami kata-kata. Saya mulai mengenal fotografi hanya beberapa tahun sebelum terjerumus secara tiba-tiba ke fotografi pernikahan (@redwhitephoto) di tahun 2013 lalu. Fotografi saya gunakan untuk medium bercerita, baik secara personal maupun komersial, meskipun kadang juga saya sempatkan untuk menggunakan tulisan sebagai sarana untuk menyampaikan gagasan, salah satunya lewat Buku Lihat, Dengar, Rasakan: Tentang Fotografi dan Pernikahan.
 
Memotret, lalu menulis atau bisa juga sebaliknya. Selain dua hal tersebut yang memang rutin saya kerjakan,  sejak 2017, ada juga beberapa workshop yang saya lakukan, baik secara mandiri atau dengan bantuan dari komunitas, seperti Cap Doa Restu, Fellowship dan Kelas Pagi. Bertemu dengan fotografi ialah pengalaman yang menyenangkan bagi saya, bisa bercerita ini dan itu, semoga tidak bingung membaca biografi singkat ini. Salam kenal dan sehat selalu!
 
Project Information 
 Title of project          : Today, I Marry My Bestfriend
Number of images    : 9
Project date               : 2014 - On Going
Description/Artist Statement:
(describe your project in 200 - 300 words. Please bear in mind that bdgconnex has the rights to edit and translate the submitted text)
 
Pernikahan ialah panggung perayaan perasaan. Kenapa harus berdandan dari pagi hari? Kenapa pula harus menyiapkan pakaian yang seragam? Seserahan apa yang pantas untuk dibawa? Bagaimana senyum yang tepat untuk di foto? Dan segala pertunjukkan lainnya bisa terjadi di dalam sebuah panggung pernikahan. "Today, I Marry My Bestfriend" berupaya memotret kisah-kisah itu, melihat cerita yang selama ini tertutupi oleh bentuk "indahnya" pernikahan. Panggung pernikahan bukan hanya pelaminan atau dekorasi, tapi juga keseluruhan pertunjukkan yang terjadi di dalamnya, seperti halnya teater yang melibatkan keseluruhan penonton yang hadir.

Muhammad Fajar Hidayat biasa dipanggil Fajar atau Yayat. Lahir di Kalimantan Selatan pada tanggal 31 Januari 1986. Menamatkan pendidikan S1 di Jurusan Teknik Industri Universitas Hasanuddin Makassar.
Tahun 2011 pindah dan menetap di Kota Bandung karena atmosfir industri kreatifnya yang sangat mendukung untuk memulai usaha sendiri. Sedari kecil tertarik dengan dunia visual, dan kemudian memutuskan mendalami fotografi analog setelah melihat banyak karya fotografer di laman Flickr. Di tahun 2012 merintis Hipercat Lab sebagai akses penghobi fotografi analog di luar daerah. Selain sisi bisnis, Hipercat Lab juga sering mengadakan workshop dan photo walk sebagai wadah edukasi dan komunikasi antar pemotret film. Berkembangnya fotografi film secara umum di Indonesia dan khususnya Hipercat Lab sebagai badan usaha, berjalan seiring meningkatnya penggunaan media sosial dan kemudahan akses jual-beli alat/bahan fotografi analog. 
 
Title of project          : Embrace the awkwardness.
Number of images    : 10
Project date               : 2016-2019
Description/Artist Statement:
Fotografi terkhusus fotografi jalanan bagi saya bukan hanya merekam emosi kota sebagaimana adanya, tapi juga refleksi dari masa lalu dan harapan saya sebagai individu yang menghabiskan masa kecil di desa. 
Di awal kehidupan saya di kota Bandung, perbedaan budaya seringkali menjadi penghalang untuk merasa dan menerima bahwa saya adalah bagian dari masyarakat. Memotret jalanan dan subjek di dalamnya, seringkali saya menemui kejanggalan-kejanggalan setidaknya bagi saya yang bukan orang asli Bandung. Setelah bertahun-tahun memotret di jalanan kota, hal yang sebelumnya terasa janggal menjadi lumrah dan merupakan bagian dari rutinitas masyarakat kota yang berjalan secara alamiah. Kejanggalan tersebut adalah manusiawi dan pertanda dinamisnya kehidupan di kota. Pada akhirnya mencerna dan menerima kejanggalan tersebut adalah cara saya menerima diri sendiri sebagai bagian dari masyarakat kota Bandung.

 
 
 
 

© BDG Connex 2017 - 2024