SELAIN SELIYAN
A DUET EXHIBITION BY ANTON ISMAEL & BASTIAN HANSEN
20 MAY - 3 JUNE 2022
Selama ini Anton Ismael dikenal sebagai figur yang aktif bergelut dengan fotografi, pun sama halnya dengan Bastian Hansen. Hampir separuh hidup keduanya menjadikan fotografi sebagai medium utama dalam menjalankan karir sebagai seorang profesional, hingga pandemi dua tahun silam kemudian mendisrupsi segala kegiatan yang mulanya menjadi keseharian. Dengan berbekal familiaritas akan warna dan tekstur visual dari fotografi, mereka kemudian dipertemukan dengan media lukis sebagai upaya menghadapi realitas pandemi yang cukup menekan keadaan mental dan emosional saat itu.
Anton mulai mempelajari dan mengeksplorasi lukisan secara otodidak sebagai bentuk ekspresi emosi dan ketertarikan personal pada hal-hal di sekelilingnya. Sedangkan Bastian mulai kembali belajar dari titik nol setelah 20 tahun tidak bersentuhan dengan medium lukisan. Namun kali ini, ia benar-benar bereksperimentasi secara spontan dengan materi non-tradisional yang dapat ia temukan. Dalam hal ini keduanya memiliki persamaan yang lebih kurang serupa: mereka melakukan proses eksplorasi dan eksperimentasi seni rupa dari awal mula.
Keberadaan Anton dan Bastian yang mulai membuat karya hasil proses eksplorasi dan eksperimentasinya ini boleh jadi masuk ke dalam kategori fenomena yang pertama kali Jean Dubuffet (1988) identifikasikan sebagai Art Brut—kemudian dikenal sebagai Outsider Art atau karya-karya yang cukup independen dari sistem seni rupa. Seniman outsider secara umum dipahami untuk merujuk orang-orang yang tidak terkekang dari institusi artistik formal—yang terbebas dari budaya dominan dalam medan seni rupa.
Merujuk pada identifikasi tersebut, apa yang disuguhkan Anton dan Bastian dalam karyanya pun dapat dikatakan cenderung tidak berdasarkan tradisi komunitas dan estetika kolektif, melainkan bentuk dari keunikan visi personal sekaligus kemurnian ekspresi yang dimiliki kedua seniman. Karya seni idiosinkratik dan tanpa preseden menjadi tema yang kemudian muncul dalam proses mereka berkarya. Kebebasan, kelugasan, dan kekebalan pada budaya artistik konvensional menjadikan karya yang hadir sebagai kritik terhadap sifat seni kontemporer yang Dubuffet juga nilai sebagai pretensius dan artifisial.
Pada sisi lain, label seni outsider pun menjadi soal karena ambiguitasnya seringkali digunakan untuk menempatkan pelaku seni rupa yang belajar secara otodidak ini dalam logika posisi biner. Terdapat penekanan gagasan stereotip tentang seniman sebagai yang lain (as the Other) dalam kaitannya dengan budaya dominan. Mereka ‘yang liyan’ ini seolah-olah diberikan tempat lain dalam medan seni rupa arus utama. Hal ini menjadi soal sebab, bukankah dalam seni kontemporer terdapat perayaan akan kebebasan dan kemerdekaan berkesenian; meleburkan batasan-batasan konvensional yang boleh jadi sudah usang dan lebih memanusiakan manusia? Dengan begini, mengapa keberadaan arus utama acap kali mengkategorisasikan mereka yang bukan berasal dari komunitasnya?.
Dengan menampilkan sepilihan karya seni kontemporer dari Anton Ismael dan Bastian Hansen, Selain Seliyan berupaya merefleksikan kembali gagasan akan outsider art sekaligus mempertanyakan posisi seniman liyan dalam medan seni rupa arus utama. Dengan mempertanyakan kembali, barangkali kita dapat menjadikan seni sebagai rumah bagi apa yang disebut selain dari seliyan ini. Jika seni adalah ekspresi, lantas untuk apa pula kita membatasi suara dan pengalaman manusia untuk dibagikan?
Raisha Adistya
RUANG DINI