BDG Connex
Shows Venues Artworks Artists Sign in Sign up ◼︎

Potret Diri Refleksi Masalah Kemanusiaan Tiga Perempuan Sunda Dikuratori oleh Hardiman

Curators Choice: EDANKEUN Aug 19th - Oct 20th, 2020


 >> Curator Choice 
Potret Diri 
Refleksi Masalah Kemanusiaan Tiga Perempuan Sunda


Dikuratori oleh Hardiman @hardimanadiwinata 


Lukisan potret diri adalah lukisan dengan objek tampang si pelukisnya sendiri atau bahkan dengan objek lain yang bisa memberi gambaran kondisi batin dan alam pikiran si seniman. Itu sebabnya berbagai cara pengungkapan dari masing-masing pelukis mempunyai pendekatan dan pemecahan yang berlainan. Ada sejumlah pelukis yang menyalin sepenuhnya tampang diri secara detail dan rinci sehingga keseruluhan tampangnya terdedahkan di atas kanvas; Ada juga yang lebih tertarik mencari sari pati (esensi) dari tampangnya, misalnya dengan cara menggambarkan bagian tertentu saja dari tampang; Bisa juga yang digambarkan adalan benda tertentu yang melekat pada dirinya semisal kacamata, tongkat, pipa, busana, dll; Bahkan sejumlah seniman menggambarkan potret diri itu justru pada identitas karyanya yang bukan menyalin tampang. Karya ini adalah alam pikiran yang memperlihatkan pencerminan apa yang dipikirkan atau yang mengganggu pemikirannya. Seniman semacam ini selalu melihat persoalan sosial di luar sana sebagai persoalan dirinya. Atau bisa juga ia melihat persoalan dirinya sebagai metafor dari persoalan sosial di luar dirinya. 
Tiga perempun pelukis ini: Nita Dewi, Mia Syarief., dan Ika Kurnia Mulyati (Ika AIK KM) menghadirkan potrat diri pada batasan yang melebar. 


#curatorschoice #bandungartmonth2020 #bdgconnex2020 #hardiman #kenormalanbaru #jagajarak #edankeun #bandungartists

POTRET DIRI:
Refleksi Masalah Kemanusiaan Tiga Perempuan Sunda
Oleh Hardiman*
 

Lukisan potret diri adalah lukisan dengan objek tampang si pelukisnya sendiri atau bahkan dengan objek lain yang bisa memberi gambaran kondisi batin dan alam pikiran si seniman. Itu sebabnya berbagai cara pengungkapan dari masing-masing pelukis mempunyai pendekatan dan pemecahan yang berlainan. Ada sejumlah pelukis yang menyalin sepenuhnya tampang diri secara detail dan rinci sehingga keseruluhan tampangnya terdedahkan di atas kanvas; Ada juga yang lebih tertarik mencari sari pati (esensi) dari tampangnya, misalnya dengan cara menggambarkan  bagian tertentu saja dari tampang; Bisa juga yang digambarkan adalan benda tertentu yang melekat pada dirinya semisal kacamata, tongkat, pipa, busana, dll; Bahkan sejumlah seniman menggambarkan potret diri itu justru pada identitas karyanya yang bukan menyalin tampang. Karya ini adalah alam pikiran yang memperlihatkan pencerminan  apa yang dipikirkan atau yang mengganggu pemikirannya. Seniman semacam ini selalu melihat persoalan sosial di luar sana sebagai persoalan dirinya. Atau bisa juga ia melihat persoalan dirinya sebagai metafor dari persoalan sosial di luar dirinya.

 
Tiga perempun pelukis ini: Nita Dewi, Mia Syarief., danIka Kurnia Mulyati(Ika AIK KM) menghadirkan potrat diri pada batasan yang melebar. Sepintas, lukisan mereka merefleksikan identitas tampang mereka, raut misalnya segera terditeksi sebagai Nita, Mia, atau Ika. Tapi, gambaran itu tidak menyalin saripatinya, apalagi sepenuhnya secara realistik. Di lain sisi, ada juga penggabaran melaui metafor yang mewakili diri dan alam pikirannya. Pelukisan ini ini manarik, karena bersinggungan dengan batas atau konsep yang tidak permanen. Mereka seperti mengamini konsep potret diri, tetapi sekaligus memperlebar bahkan semacam tidak mempercayai batas-batas itu.  Menarik dicermati, pangkal apa yang menyebabkan hal ini muncul. Berbagai disiplin bisa dipakai untuk membongkar hal ini. Semiotika, psokoanalisis, teori budaya, dll. memungkinkan dipinjam guna membongkar hal ini. 
 
Tiga pelukis perempuan ini memiliki latar belakan pendidikan yang sama. Mereka dididik di IKIP(kini UPI) Bandung yang menfokuskan arahnya ke bidang pendidikan seni. Mereka saat ini juga berprofesi sebagai pendidik, guru di sekolah menengah. Saya rasa, latar belakang dan profesi mereka berpengaruh terhadap apa yang dipikirkannya dalam lukisan mereka. Melukis bagi mereka adalah ekspresi, begitulah pendidikan seni mengjarkan tentang konsep seni. Tetapi, apa yang diekspresikan? Tentu, sebagaimana yang tercermin dalam konsep psikologi tentang ekspresi: ekspresi menyangkut segala batasan emosi. Emosi yang mereka miliki adalah perihal kehidupan. Mulai dari kehidupan sehari-hari pada dirinya, hingga kehidupan sosial budaya yang lebih luas pada lingkungannya. Para perempuan pelukis ini tampaknya menyukai cara pandang yang lebar. Melihat persoalan kehidupan di luar sana dengan cara mengkritisinya dengan metafor dirinya. Seolah-olah apa yang terjadi di luar sana adalah persoalan dirinya juga. Atau, secara terbalik, mereka melihat persoalan dirinya sebagaimana juga persoalan di luar dirinya. Privat adalah wakil publik, atau publik bisa diwakili oleh privasinya.

 
 Latar pemikiran ini boleh jadi dipengaruhi pula oleh budaya yang membesarkan mereka, budaya Sunda. Jika kita membaca ulang sejarah perempuan Sunda, mendapat tempat yang luhur, sebut saja Dayang Sumbi misalnya. Ibunda Sangkuriang ini menjadi tokoh sentral di cerita legenda Jawa Barat. Dayang Sumbi mempunyai harga diri yang kuat juga yakin akan kebenaran pendiriannya dan mampu menolak Sangkuriang dengan caranya. Ada pula Purbasari, sosok putri yang cantik lahir dan  batin. Jika dua tokoh dalam sastra Sunda tersebut Sangkuriang dan Purbasari merupakan tokoh imajiner, tapi lihatlah tokoh perempuan Sunda yang riil seperti  Dewi Sartika. Perempuan Sunda yang dengan gagah berani berpikir mengenai kaumnya. Dewi Sartika berpikir pentingnya kaum wanita mendapat pendidikan agar bisa hidup sendiri, tidak semata-mata bergantung ke suami. Akhirnya Dewi Sartika pada tahun 1904 mendirikan sakola istri. Ada juga Inggit Garnasih, yang dari tangannya melahirkan negarawan Soekarno. Baik tokoh rekaan dalam fiksi, maupun tokoh riil dalam fakta, keduanya adalah cerminan budaya.


Saya rasa, Nita, Mia, dan Ika besar dipengarhi oleh budaya Sunda yang menempatkan perempuan sejajar dengan laki-lsaki. Mereka adalah perempuan Sunda yang berani mengungkapkan diri dan pemikirannya. Sekagus memperlihatkan bahwa mereka kuat dalam memperlihatkan kebenarannya. []
*Hardiman, pelukis dan penulis seni rupa. lulusan IKIP Bandung,  tinggal dan bekerja di Singaraja Bali.
 
Peserta Pameran
 
Nita Dewi
Alamat: komp Marken G6 no 3, Bandung                 
Telp/HP           : 081321139179
Email   :           [email protected] 
 
aktif pameran sejak  kuliah hingga sekarang, bergabung dgn Komunitas 22 Ibu, berpameran di dalam dan luar negeri.
 
“Kita terpisah ke arah yang berbeda serta segala emosi membuat kita terjebak dalam bayang liku kehidupan...aku bertopeng dalam sunyi di antara bayang kepedihan dan kerinduan...hingga hanya kepasrahan atas suratan Nya...”
 
Mia Syarief 
Alamat:  Jl Taruna VI no 3 Komp Taruna Parahyangan Bandung                
Telp/HP           : 081320565453
Email   :           [email protected] 
 
sejak duduk dibangku kuliah sering mengikuti pameran di idalam dan luar Negeri, bergabung dengan komunitas 22 ibu.
 
“Ketiga karya yg saya buat   hampir smua temanya   tentang kepedihan /  rasa  luka  yg dalam ada saat kepedihan itu haruss disembunyikan dalam kepura puraan ( The Other Side Of Dancer) namun ada  satu masa  tak kuat menahan diri dan ingin berteriak. Bahkan, ada pula saat dimana  hanya bisa duduk   berdiam  diri ,  beratafakur ( Terpaku Dalam Diam)  mencari hikmah di balik smua yg terjadi,  dan yangg Allah tetapkan sebagai takdir”

 
Ika Kurnia Mulyati (Ika AIK KM)
Alamat.     ; Kab Lebak Banten
Telp/ HP.   : 081931410114
Email.        : [email protected]
 
Sejak 2013 beberapa kali pameran di dalam dan luar negeri, bergabung dengan Lomunitas 22 Ibu.
 
“Mungkin benar bahwa hidup ini bukan untuk menunggu pelangi datang, tapi untuk menari di bawah hujan".Dan, pelangi akan datang menghampiri. Ada keindahan menunggu di tengah kepahitan yang terkungkung.Tetap bertahan dan berdamai dengan Kesakitan, biar orang melihat kita kuat.Bertahanlah dengan orang yang sama-sama ingin berjuang, bukan dengan orang yang hanya ingin diperjuangkan.”
 

© BDG Connex 2017 - 2024