Dalam mati surinya, Rudolfo Eduardo pernah bersumpah akan mengabdi pada siapapun yang bisa mengirimkannya kembali ke alam fana: “Akan kubuatkan untuknya, sebuah monumen yang tak akan pernah ia lupakan. Semua orang di dunia akan mengenalnya sebagai penyelamat masa depan.”
Terombang-ambing antara hidup dan mati, Rudolfo mengucapkan ikrar itu berulang-ulang.
Pada suatu pagi, ketika hendak pergi memancing, Zonariu Balthazar menemukan tubuh Rudolfo yang nyaris membeku tergeletak di pinggir sungai. Merasa mengenal betul sosok laki-laki itu, Zonariu memutuskan untuk membawa Rudolfo pulang. Dengan sabar dan tekun, Ia merawat Rudolfo di kliniknya, memberinya terapi dan obat-obatan yang ia racik sendiri. Hari berganti minggu, berganti bulan, berganti tahun. Hingga pada suatu sore, Rudolfo bisa membuka mata, dan memperoleh kesadarannya kembali.
“Siapapun engkau, tuan, terimalah ucapan terima kasihku yang tak terhingga,” kata Rudolfo sambil bersimpuh di hadapan penolongnya. Zonariu hanya tersenyum. Matanya berkaca-kaca, penuh haru. “Kau boleh tinggal di sini, di klinik ini, untuk seterusnya, jika kau mau.”
Demikianlah awal pertemuan Rudolfo Eduardo dengan dokter Zonariu Balthazar. Selama tinggal di klinik, selain melakukan pekerjaan rutin seperti membersihkan ruang praktik, mencuci pakaian, memasak dan merawat tanaman obat-obatan, Rudolfo juga membantu Zonariu meracik obat dan menangani para pasien. Ia semakin menaruh hormat pada Zonariu, terlebih lagi ketika sang dokter mengijinkannya mempelajari kitab-kitab rahasia pengobatan. Di lain pihak, Zonariu sering dibuat kagum oleh kecakapan dan kecerdasan Eduardo dalam menyerap ilmu yang ia ajarkan. Rudolfo justru bisa memberikannya saran-saran yang jitu untuk mengatasi pasien-pasien yang menderita penyakit misterius.
Seiring dengan persahabatan yang terjalin semakin erat di antara Rudolfo dan Zonariu, reputasi klinik dokter Balthazar semakin menanjak. Ruang tunggu pasien selalu dipenuhi puluhan orang yang mengantri setiap harinya. Sesekali Rudolfo menjadi ‘dokter pengganti’, terutama ketika Zonariu mengambil cuti dan ingin menikmati hobinya memancing. Para pasien tak pernah keberatan ditangani oleh Rudolfo yang semakin fasih memberikan terapi dan menulis resep. Rudolfo melakukan semua pekerjaan di klinik dengan ikhlas, sebagai balas budinya kepada Zonariu sang penyelamat.
Suatu malam, Rudolfo terjaga dari tidur oleh petir yang menggelegar. Air hujan yang deras terhempas angin, mengetuk-ngetuk kaca jendela kamarnya. Seperti sebuah sirene kebakaran, suasana itu tiba-tiba mengingatkannya pada ikrar ketika mati suri. Saat itu juga, Rudolfo bangkit dari peraduan, bergegas menuju klinik, dan mulai bekerja untuk sebuah kejutan besar yang telah lama ia ingin persembahkan untuk ulang tahun sang guru pada 15 Mei nanti…
----------
Selasar Sunaryo Art Space mengundang anda untuk hadir pada
MUSEUM POTRET DOKTER RUDOLFO
Pameran Tunggal R.E. Hartanto | 15 Mei – 30 Juni 2019
Tempat:
Bale Tonggoh
Selasar Sunaryo Art Space
Kurator:
Agung Hujatnikajennong