Ketika berbicara soal kelas, ada satu pikiran mengenai sebuah tingkatan. Tetapi hal tersebut sekaligus mengingatkan sebuah ruang belajar. Kebiasaan yang dilalui masyarakat untuk menimba ilmu dalam sebuah sekat-sekat formal terstruktur yang hirarkis. Kelas satu, dua, tiga ataupun sd, smp, dan sma. Ada legitimasi terhadap mana yang benar, ada aturan yang disesuaikan dengan kedewasaan sebuah pola pikir. Guru sudah pasti lebih pintar daripada muridnya. Yang lebih tua pasti lebih bijaksana daripada yang muda. Pada akhirnya semua akan mengalami kelebihan dari sebelumnya sesuai dengan berjalannya waktu untuk mencapai kebebasan berpikir.
Moving class adalah sebuah pameran selama satu bulan. Enam belas seniman dikelompokan menjadi empat kloter yang masing-masing berpameran dalam satu minggu, bebas membuat apapun. Kemudian berdasarkan kebebasannya mereka dibagi, disesuaikan dengan kecenderungan gagasan dan bentuk visual. Diskusi sambil duduk bersama mencari solusi untuk menggali ide dan mengukurnya agar berhasil dengan karya yang representatif dan bermakna. Naik ke tataran lebih dari yang tampak.
Pada umumnya sekarang ini seniman kontemporer bebas untuk membuat apapun, anything goes. Yang awalnya sekolah dan terikat dengan konvensi akademik ketika memasuki dunia seni rupa diberi kebebasan hakiki. Apakah benar seperti itu? Semua orang umumnya harus melalui tingkatan, harus naik tangga keatas atau turun kebawah. Kebudayaan sudah terbentuk seperti itu. Budaya masyarakat yang kompetitif. Akan tetapi bisa saja ketika diatas ternyata hanyalah keklisean yang selama ini selalu merayu. Padahal yang memegang kendali tetap yang punya kuasa, yang ada di puncak kelas.
Axel R. Ridzky
Bandung, November 2017