BDG Connex
Shows Venues Artworks Artists Sign in Sign up ◼︎

Membelah Menyatu

Lokus Foundation Sep 30th - Oct 14th, 2022

Sebagai rangkaian acara pameran karya perdana yang diselenggarakan oleh Yayasan Lokus, lembaga yang bergerak dalam kolaborasi interdisiplin antara seni dan sains, akan dilaksanakan pula acara simposium yang akan mengkaji proses kekaryaan dan kerja kolaborasi atas karya-karya yang dipamerkan, disertai diskusi lintas ilmu dengan para praktisi di bidang seni maupun sains. Diharapkan dengan diselenggarakannya simposium ini dapat mengkaji lebih jauh kebermanfaatan dan peran kerja kolaborasi seni dan sains bagi publik secara umum.

Membelah dan Menyatu

Lokus sedang membelah dan menyatu – sedang tumbuh bergeliat. Sebagai lembaga, Lokus baru berumur setahun-baru resmi berdiri di masa pandemi. Selama 1 tahun ini, Lokus telah menginisiasi beberapa proyek kolaborasi interdisiplin antara seni dan sains – baik dengan perorangan, komunitas, dan antar-lembaga. Salah satu proyek tersebut adalah Lokus program residensi pertamanya yang bernama Lokus Lobus. Lebih jauh lagi menyoal identitas, Lokus juga baru saja melakukan restrukturisasi kelembagaan, berpindah studio, dan membangun lab tenda portabel. Di tengah ragam aktivitas yang serba perdana ini, Lokus menginisiasi sebuah kegiatan berjudul “Membelah dan Menyatu”.

“Membelah dan Menyatu”, hendak membahas kerja interdisiplin antara seni dan sains melalui saluran berbentuk pameran dan simposium. Sebagai alat ukur capaian kerja interdisiplin Lokus, keduanya mengedepankan hal yang serupa dalam artian berkarya tapi tak sama bentuk presentasinya. Sementara pameran mengedepankan aspek kepekaan visual melalui olah material hasil dari kerja interdisiplin, simposium memeriksa koherensi gagasan kerja interdisiplin dengan produknya. Dengan segala resiko kegagapan, kerepotan dan kebingungan yang mungkin muncul dari percobaan ini, Lokus menyadari bahwa laku ini adalah bagian dari tujuan dirinya melembaga dalam irisan antara seni dan sains.

Cara memandang seni dan sains di Indonesia, merupakan bagian dari persebaran cara pandang masyarakat modern Eropa abad ke 17. Hari ini wajar bagi cukup banyak orang, terutama yang muda di kota besar, untuk mengenal seni dan sains sebagai sebuah rumpun keilmuan yang memiliki gelar kesarjanaan tertentu melalui sekolah formal. Sistem pendidikan Indonesia mengadopsi cara pandang ini selama proses penjajahan. Sebelum abad ke 17 ada masa dimana
manusia Eropa mengenali sains dan seni dengan cara pandang yang berbeda. Itu juga berarti ada perkembangan cara pandang yang berbeda terhadap seni dan sains di luar lokus Eropa. Bahkan mungkin untuk ada pandangan yang berbeda hadir bersamaan di satu wilayah di masa
yang sama.

Masyarakat pra-modern eropa sebelum abad ke 17 mencari pengesahan perikehidupan melalui agama dan metafisika. Di masa itu cara pandang terhadap sains dan seni belum terdefinisi dengan baik dan tidak terpisahkan dari agama dan metafisika. Mundur lebih jauh, seni dan sains bahkan menyatu dalam ritual dan bangunan peribadatan atau pemujaan. Namun di Eropa, seiring berbagai konflik perang, penyalahgunaan kekuasaan gereja, hingga krisis
ekonomi dan wabah – kepercayaan terhadap sumber tunggal pengesahan itu runtuh. Masyarakat Eropa abad ke 17 menggeser acuan pengesahan perikehidupan mereka ke dalam tiga pilar baru yang saling bebas (otonom). Tiga pilar itu adalah; etika untuk perihal baik atau buruk, estetika untuk perihal bagus atau jelek, dan saintifika untuk perihal benar atau salah. Masing-masing pilar itu berkembang pesat dan melembaga, sehingga akhirnya membentuk
rumpun-rumpun pengetahuan yang sangat terspesialisasi di berbagai universitas.

Mengenali Kondisi Persinggungan Seni dan Sains

Lokus Lobus adalah program residensi pertama Lokus yang berjalan selama oktober-desember 2021. Dalam rilis program residensi, Lokus menyebutkan bahwa para peserta melaksanakan eksperimen di “studio sains” dan “laboratorium seni”. Pemilihan frasa studio sains dan laboratorium seni ini mengingatkan pada kelakar laboran soal perbedaan teori dan praktik, serta usaha menggabungkannya yang menghasilkan kegagalan dan ketidaktahuan-“In our lab theory and practice are combined: nothing works and nobody knows why”.

Meletakkan Lokus Lobus sebagai tempat yang menghasilkan kegagalan dan ketidaktahuan seperti bertolak belakang dengan tujuan pengembangan seni dan sains. Namun perlu kita sadari bahwasannya kerja interdisiplin antara seni dan sains adalah sebuah tempat yang asing bagi kebanyakan spesialis. Berkenalan dengan sebuah tempat asing biasanya mempertemukan kita pada sebuah kondisi atau pengalaman seperti gagal dan tidak tahu. Dalam kondisi perkenalan, kita bisa melihat dan menyaksikan kegagapan, kebingungan dan jika berlanjut lahirnya bentuk adaptasi. Tiga peserta residensi berikut ada dalam ranah pengenalan ini.

Maesa Kusnandar atau akrab dipanggil Eca, adalah dokter yang menunjukkan perilaku melintas batas menjadi perupa. Dalam karya Algia, Eca mencoba menyampaikan persoalan nyeri menjadi suara dan permainan kartu undian. Mewakili spektrum nyeri terkuat. Eca mengubah secara manual data grafik (CTG) detak jantung janin dan kontraksi uterus menjadi angka lalu menjadi suara. Sementara itu menggosok kartu undian berpola kertas CTG mewakili perilaku menggaruk rasa gatal sebagai spektrum nyeri terlemah. Konten dalam kartu undian tersebut adalah hasil anamnesis Eca sebagai dokter terhadap beberapa orang dari berbagai kalangan usia, jenis kelamin, latar belakang dan pekerjaan. Disini, anamnesis berarti mencari tahu riwayat kesehatan pasien melalui wawancara atau dialog. Melalui karya ini, Eca mencoba menyampaikan berbagai persepsi nyeri yang bersifat subjektif, karena sumber nyeri yang sama dapat dipersepsi berbeda ketika berulang. Bahkan rasa sakit dan rasa gatal memiliki berkas yang sama ketika melihat jejak rangsangnya di otak.

Pandu Sotya merupakan desainer grafis yang sempat terlibat dalam kolaborasi karya dengan tim Lokus Bio Inside yang menjuarai Bio Design Sprint 2021. Berbeda dari kebiasaan bekerja sebagai desainer grafis, dalam residensi Lokus Lobus Pandu mencoba berkarya dengan pendekatan yang lebih personal dan terindividuasi. Pandu mencoba memanfaatkan temuan sains – Kamar Kabut Wilson – untuk menyampaikan gagasan personalnya. Karya Cloud Chamber: Cosmic Ghost adalah instalasi peraga kamar kabut buatan sendiri beserta beragam proyeksi video tangkapan kamar kabut di sekitar ruang pamer. Pandu menggunakan aspek nonindrawi partikel kosmik sebagai representasi hal-hal yang supernatural. Karya ini seolah menciptakan ruang kehadiran bagi sesuatu yang non-indrawi dalam keseharian kita. Ruang dimana yang non-materiel dan yang materiel dapat berinteraksi – metafora ruang mediasi pengalaman spiritual.

Rega Ayundya Putri adalah perupa yang dikenal selalu membawa ciri khas mark making (pembuatan berbagai pola, garis, tekstur, dan bentuk) dalam berbagai olah material berkarya. Berbeda dengan kecenderungan berkarya melalui percakapan intim dengan alam pikir dirinya sendiri, kali ini Rega mencoba membangun karya berdasarkan percakapan yang dilakukan dengan beberapa orang ahli biologi. Mirageology adalah penelusuran spekulatif Rega terhadap kondisi – makhluk hidup selain manusia (hewan) – kota Bandung paska bencana ekologi seperti perang, polusi dan pandemi. Karya ini menjadi semacam kritik atau protes melalui imajinasi bagaimana di masa depan hewan-hewan bermutasi dan berevolusi menjadi tidak wajar akibat besarnya intervensi manusia terhadap ekosistem. Karya ini tampil dengan sebuah latar mural kota Bandung paska bencana (distopia), digabung dengan berbagai cetak digital di atas lembar-lembar akrilik di berbagai titik di permukaan mural. Lembar-lembar ini, seperti catatan-catatan naturalis amatir yang menelusur dan mencoba mendata temuan mutasi di berbagai titik kota.

Menghidupi Persinggungan Cara Pandang

Kolaborasi interdisiplin antara seni dan sains dapat mengambil beragam bentuk kerjasama; kolaborasi seorang perupa dengan seorang ilmuwan, perupa terlibat dalam riset sekelompok ilmuwan, ilmuwan terlibat dalam proyek seni sekelompok perupa, dan yang terakhir kolaborasi yang menghasilkan sebuah temuan khas. Tidak semua bentuk kerja kolaborasi ini hadir dalam ruang pamer. Lebih lanjut, karya-karya berikut ini menunjukkan – dalam proses kolaborasi seni dan sains, persinggungan cara pandang yang saling otonom menjadi arena – dimana kegagalan dan ketidaktahuan menjadi penggerak utama mengatasi ketidaksepakatan dan ketidaksepahaman.

Persinggungan cara pandang yang berbeda terjadi di alam gagasan seseorang. Persinggungan ini yang dapat menjadi harapan munculnya kemungkinan-kemungkinan baru dalam relasi seni dan sains. Dua karya berikut mengupas persinggungan cara pandang yang berada di ranah personal.

Mother's Milk -Floating Cell into Offspring adalah karya kolaborasi Mei Homma, Fitria Dwi Ayuningtyas, dan Syaiful Garibaldi. Secara umum karya ini mengeksplorasi potensi ketubuhan perempuan melalui ASI, mempertemukan pengalaman subjektif dengan pandangan objektif. Karya ini menyampaikan ulang sebuah pengalaman subjektif bersalin hingga menyusui. Seringkali kita lupa bahwa menyusui itu sebuah pekerjaan tak berbayar, melelahkan dan bukan sekedar jargon peran yang cenderung membuat kita abai dan meremehkan hak-hak terkait kesehatan reproduksi perempuan. Metafora kerja berat dalam karya ini muncul dengan membandingkan berbagai potensi besar ASI, pengalaman menyusui, dengan nyeri yang dibayangkan mengiringi perubahan struktur morfologis kelenjar susu perempuan selama hidupnya. Karya ini memadukan video, foto, dan sulaman benang di atas kain. Upaya mengisolasi sel punca ASI, rekam pengasuhan oleh orangutan, berpadu dengan objek sulaman yang mewakili pekerjaan yang lama dan melelahkan itu.

Menyusul adalah Mikro Khodam yang merupakan iterasi dari Sesajen Mikro Khodam, karya yang dibangun bersama Maesa Kusnandar dan Lab Ngebon. Sesajen Mikro Khodam sebelumnya pernah dipamerkan di Lawangwangi sebagai salah satu dari empat karya terpilih dari kegiatan Kotaton. Kali ini Mikro Khodam merupakan kolaborasi Mutiara Intan Rismaya, Syaiful Garibaldi, Fitria D. Ayuningtyas, dan Andro M. M. Napitupulu. Mikro Khodam tampak lebih jenaka dalam memandang pengalaman personal persinggungan seni dan sains. Dalam karya ini praktik mendata makanan dan mikroorganisme dalam feses – setiap hari – dianggap sebagai ritus jurnal penyembuhan mandiri. Mengenali diri sebagai sebuah ekosistem kecil bagi mikroba dalam tubuh (mikrobiom), seolah menjadi hubungan spiritual (introspeksi) antara diri dan lingkungan. Mengurangi mikroorganisme patogen dan menjaga jumlah organisme probiotik melalui pemilihan nutrisi dan kebersihan asupan yang masuk ke dalam tubuh untuk mengontrol organisme penyebab penyakit dalam tubuh kita adalah proses berhubungan kembali dengan “dunia dalam”. Mikro khodam berspekulasi tentang hubungan spiritual antara diri dan mikrobiom, melalui kontrol asupan makanan.

Sementara, karya Preputium Perspective bergeser dari dunia dalam menuju ke pertetanggaan sosial dengan mengupas soal dualisme luka. Khitan dapat dilihat sebagai luka personal yang didorong oleh pertetanggaan sosial. Namun bagi masyarakatnya khitan bisa lebih tampak sebagai ritual perekat sosial (penyembuhan kolektif). Kita bisa saja membandingkan khitan dengan berbagai macam rajah, anting, susuk, hingga operasi plastik. Preputium Perspective merupakan kolaborasi Fitria D. Ayuningtyas, Syaiful Garibaldi, Muhammad Akbar, dan Andro M. M. Napitupulu. Terlepas dari masalah etis dan posisi manfaat khitan secara keilmuan, karya ini justru melihat limbah medis khitan sebagai potensi. Setidaknya untuk memantik pembicaraan mengenai posisi dualisme luka dan bagaimana setiap kelompok dapat memiliki keunikan cara pandang terhadap luka serta pemaknaan praktik atau ritual melukai, hingga hari ini. Karya ini dapat membuka potensi pengembangan pemanfaatan limbah medis khitan.

Dalam kegiatan ini Lokus juga menyertakan karya yang ditujukan untuk ruang publik. Sasak Rupa Kahirupan merupakan karya kolaborasi yang melibatkan berbagai bidang keahlian seperti seni rupa, mikrobiologi, teknik sipil, desain grafis, dan desain interior. Mereka adalah Prof. I Nyoman P. Aryantha, R. Yuki Agriardi, Pandu Sotya, Retno Utami, Ima Widyamara, Syaiful Garibaldi, Fitria D. Ayuningtyas, Andro M. M. Napitupulu, dan Mutiara Intan Rismaya. Karya ini muncul dari gagasan untuk membuat sebuah koridor hijau dengan penggunaan material miko-komposit. Rancangan ini dibuat untuk menjadi tempat singgah hidup makhluk hidup di tengah jalanan kota. Karya adalah proposal yang menjadi juara dua dalam Sayembara Rancang Bangun Karya Seni Jalan Layang yang diadakan oleh dinas Bina Marga dan Penataan Ruang pemerintah provinsi Jawa Barat. Pameran ini menampilkan tempat tengger burung dari bahan miko-komposit, disertai video dan poster rancangan.

Kepedulian pada keberlangsungan lingkungan hidup di masa depan juga bisa muncul dari bentuk yang mungil. Karya MFC (Microbial Fuel Cell) adalah Instalasi sumber tegangan dari aktivitas mikroba dan pemanfaatan membran semi-permeabel organik. Karya ini merupakan sampel dari berbagai percobaan dari berbagai konsentrasi jenis larutan kultur bakteri dan beberapa jenis membran semi-permeabel organik. Purwarupa mungil ini adalah hasil kerjasama Prof. I Nyoman P. Aryantha, Iwan Adhisuryo, Andro M. M. Napitupulu, Fitria D. Ayuningtyas, Syaiful Garibaldi, dan Mutiara Intan Rismaya.

Selain karya Lokus, kegiatan ini juga menampilkan kontribusi karya dari kawan Lokus. Menyasar pendidikan untuk anak-anak – Kebun Bunga dan Anak Baik adalah sebuah karya yang berupaya menanamkan aspek etik ke dalam logika di balik dalil penjumlahan dan pengurangan dalam matematika – melalui bentuk permainan. Karya ini merupakan kolaborasi Ken Wimba, Agustinus Gunung, Jacqueline Thenu dalam kelompok bernama Lomu. Karya ini sekaligus menjadi contoh submisi karya dari luar tim Lokus untuk kegiatan di masa depan.

Menimbang Pengalaman untuk Masa Depan

Salah satu dampak dari pertambahan bidang keilmuan yang semakin terspesialisasi adalah semakin sulitnya komunikasi antar bidang atau pelintasan informasi antar bidang. Keributan di ranah sosial biasanya muncul ketika sebuah produk pengetahuan dari salah satu pilar (etika, estetika, saintifika) tampak abai terhadap dua pilar lainnya. Di samping perilaku abai antar tiga pilar, salah-informasi (misinformation) merupakan tantangan di era information overload. Salah-informasi, telah menjangkit keseharian kita. Kombinasi berbagai tantangan itu, muncul sebagai kompleksitas permasalahan sosial hari ini.

Lokus melihat relevansi keberadaan dirinya pada keperluan menumbuhkan sikap dan cara pandang interdisiplin untuk berhadapan dengan permasalahan sosial yang ada saat ini dan masa depan. Lokus menempatkan dirinya sebagai lembaga justru di tengah minimnya inisiatif lembaga pendidikan di Indonesia dalam kajian interdisiplin seni dan sains. Lokus menemukan identitasnya dalam peran aktif, mendorong kajian interdisiplin seni dan sains untuk melahirkan norma sosial baru.

Demi literasi seni dan sains yang lebih baik.
Opening
Sep 30th, 12:0am - Oct 14th, 12:0am, 2022
Opening at Soemardja Gallery
Symposium
Sep 30th, 12:0am - Oct 14th, 12:0am, 2022
Symposium at Soemardja Gallery.

Panel I
Selasa, 4 Oktober 2022, 09.00 – 12.00
Moderator: Fitria D. Ayuningtyas  & Iwan Adhisuryo
Pemateri: Maesa R. Kusnandar, Rega Ayundya Putri & Pandu Sotya
Pemantik: Ferial Afiff  & Ahmad Zuhdi Allam

https://youtu.be/5-XV6ViNILA

Panel II
Selasa, 4 Oktober 2022, 12.00 – 15.00
Moderator: Iwan Adhisuryo
Pemateri: R. Yuki Agriardi, Syaiful Garibaldi, Fitria D. Ayuningtyas & M. Akbar
Pemantik: Dwihandono Ahmad & Ahmad Zuhdi Allam

https://youtu.be/xM-6U_Ng90Y

Panel III
Rabu, 5 Oktober 2022, 09.00 – 12.00
Moderator: Iwan Adhisuryo
Pemateri: Mei Homma, Syaiful Garibaldi, Fitria D. Ayuningtyas & Mutiara Intan Rismaya
Pemantik: Sheyka Nugrahani Fadela & Ardhana Riswarie

Panel IV.a
Rabu, 5 Oktober 2022, 12.00 – 13.30
Moderator: Dwihandono Ahmad
Pemateri: Iwan Adhisuryo & Andro M. M. Napitupulu
Pemantik: Muhammad Farhan Maulana & Dwihandono Ahmad

Panel IV.b (diskusi terbuka)
Rabu, 5 Oktober 2022, 13.30 – 15.00
Moderator: Danoeh Tyas Pradipta
Pemateri: Kiki Rizky Soetisna Putri, Danoeh Tyas Pradipta & Fitria D. Ayuningtyas
 

© BDG Connex 2017 - 2024