Look for.. | Setia adhi kurniawan
Oleh T. Rohandi
Ketika pengkotakan cabang keilmuan dilembaga pendidikan ‘beranak pinak’, semakin banyak dan menyempit dengan pola linieritasnya, ketika itu pula dalam realitas kehidupan masyarakat justru batasan tersebut semakin ‘mencair’ dan samar. Di era digital dengan informasi dan komunikasi verbal, visual yang semakin mudah bahkan bersifat ‘memaksa’ masuk menjadi salah satu faktor terjadinya lintas disiplin ilmu,saling menyebrangi dan saling mempengaruhi satu sama lain .Demikian pula dengan Kebutuhan dan Keinginan tiap individu anggota masyarakat semakin meluas bahkan samar, sehingga agak sulit untuk membedakan antara keduanya, munculah apa yang disebut hibriditas, eklektik dan lain sebagainya. Hal ini juga sebagai salah satu faktor pemicu kebutuhan akan adanya identitas, yang ironinya muncul serba dadakan dan serba instan.
Sosok Setia Adhi pun demikian sebagai anggota masyarakat dengan dasar keilmuan desain komunikasi visual yang berada dalam suasana hingar bingar masa kekinian mencoba memperluas keinginannya berkarya seni rupa dalam wilayah ekspresi subyektif. Persoalan identitas demikian menghantui setiap individu, kelompok atau komunitas bahkan Negara, yang sepertinya tidak akan berhenti dan tidak akan berujung. Terlebih terjadi pada generasi muda, khususnya dalam hal ini seniman muda, tidak terlihat atau teraba ujung identitas, mereka mencoba melihat akar dan pangkalnya.
Look for.. sebagai tema pameran, lebih pada mencari, atau identifikasi bahkan eksplorasi diri pada rupa karyanya lebih banyak bentuk ungkapan sosok tubuh yang tidak anatomis , rentan dan terasing. Resapan, rembesan dan lelehan sebagai karakteristik media cat air dikertas terlihat lebih eksploratif dan dominan pada karya dua dimensinya yang berukuran kecil-kecil . Sedangkan unsur media digital dan adanya penggandaan bentuk tidak terlepas dari dasar keilmuannya sebagai alumni desain komunikasi visual.
Keberagaman dalam keseragaman budaya demikian tumpang tindih, keberagaman yang muncul baik dari individu atau kelompok, dimungkinkan dari dampak ‘kesepian dan keterasingan’ ditengah keramaian keseragaman budaya tersebut. Pencarian , pembacaan diri , atau ‘tafakur’ , selanjutnya menunjuk diri sendiri tentang apa, siapa, dan bagaimana akan terus memaksa dan mendorong kreatifitas dan orisinalitas pemikiran yang terungkap pada eksplorasi ekspresi visual yang mandiri dan berbeda.